In Mourning

One of my greatest fears has just come true: to not be able to be near my family when calamity strikes.

It was midnight.  I was done playing with my iPad, but it was still way too hot to sleep.  I checked my phone.  There was a message left by my mom in WhatsApp.  A simple, clear, yet devastating sentence.   “Grandma has passed away.”

I shed no tears, although I wish I could.

My mind flashed back to my departure day.  August 5th, 2016.  I tried so hard not to cry when I said goodbye to my grandma, who was lying down with all the machines to support her.  She cried rather uncontrollably.  An expected reaction, since this was also the way she said goodbye when I went for college in Bandung.  Still, who could have predicted that this time, her sadness was more than justifiable?  Who knew that it would be the last chance for me to see her in person?

I spent my last 23 years with my grandma.  She is present in each waking hour I spent at my house in Bintaro.  The prospect of not being able to see her when I finally complete my studies and go back home, and not being able to taste her wonderful Dutch cooking feels odd.  Yet, it is the cold, hard truth.  My grandma is no more.

I wish I can proudly wave my master’s diploma when I am finally home.  I wish I could speak more Dutch with her once I get back.  I wish I could see her again, healthy as ever, running the kitchen and watering her collection of decorative plants in our garden.

Selfish desires, I know.  But, hey, one cannot have too many wishes, right?

I do know a wish that has a high probability of being fulfilled.  I wish her a peaceful rest at a beautiful place with her Maker.

Farewell, grandma.  I hope someday we can meet again.

***

Berkabung

Salah satu ketakutan terbesar saya terwujud sudah: tidak bisa ada di dekat keluarga ketika ada masalah yang datang.

Tengah malam baru lewat.  Saya baru saja selesai bermain di iPad, tetapi suhu ruangan terasa terlalu panas untuk tidur.  Saya memutuskan untuk mengecek ponsel.  Ada pesan dari ibu saya di WhatsApp.  Satu kalimat sederhana, tetapi menghancurkan.  “Kak, oma udah nggak ada.”

Saya tidak meneteskan air mata, walaupun saya ingin.

Pikiran saya melayang menuju hari keberangkatan saya ke Belanda.  5 Agustus 2016.  Saya berusaha keras untuk tidak menangis ketika berpamitan dengan Oma, yang saat itu sedang terbaring dengan segala mesin dan alat bantu di kamarnya.  Beliau menangis waktu itu.  Saya sudah mengira ini akan terjadi, sebab pada saat saya berangkat ke Bandung, reaksi beliau juga demikian.  Akan tetapi, siapa yang menyangka, kesedihan beliau kali ini sungguh beralasan?  Siapa yang tahu bahwa itulah saat terakhir saya bisa melihat beliau?

Saya melalui 23 tahun hidup saya bersama Oma.  Oma selalu ada selama saya menjalani hidup di rumah saya di Bintaro.  Kenyataan bahwa saya tidak akan lagi melihat beliau ketika nanti saya sampai di rumah ketika selesai studi sungguh aneh  bagi saya.  Akan tetapi, saya harus menerima itu.  Oma sudah tiada.

Saya ingin sekali dengan bangga menunjukkan ijazah program magister saya pada Oma.  Saya ingin berbicara lebih banyak bahasa Belanda dengan Oma.  Saya ingin melihat Oma, sehat seperti semula, memasak di dapur dan menyiram koleksi tanaman hias beliau di halaman rumah kami.

Harapan yang agak egois, saya tahu.  Tetapi bukankah seseorang bisa punya sebanyak-banyaknya keinginan?

Saya tahu sebuah keinginan yang kemungkinan besar bisa terwujud.  Saya berharap Oma beristirahat dalam damai di tempat yang indah bersama Sang Pencipta.

Selamat jalan, Oma.  Semoga kelak kita bertemu lagi.

A Fresh Start

Halo!

Sudah lama sekali sepertinya saya tidak menulis di blog.  Terakhir kali punya blog, saya hanya membaharui isinya satu semester sekali.  Itu juga kebanyakan isinya adalah curhat galau.  Pada akhirnya, blog-blog saya sebelumnya selalu penuh dengan debu dan sarang laba-laba akibat kelalaian saya.

Akan tetapi, akhir-akhir ini saya menemukan bahwa ternyata saya punya banyak opini yang tidak tersuarakan secara baik dan matang di media sosial yang saya punya (Anda bisa buka setelah ini ;)).  Saya ingin berbagi apa yang saya lihat dengan Anda semua secara terperinci.  Saya ingin mengajak Anda semua terjun dan ikut hanyut bersama pikiran dan imajinasi saya.  Untuk itulah, saya memutuskan untuk mencoba menulis lagi.

Saya sengaja memilih untuk memiliki blog gratis di WordPress karena beberapa alasan.  Pertama, saya sangat senang dengan antarmuka pengguna WordPress.  Cantik, bersih, minimalis.  Menyenangkan.  Kedua, tentu saja… saya tidak punya uang untuk bayar hosting, dan hosting yang gratis kadang-kadang menyebalkan tabiatnya.

Saya akan menulis dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.  Umumnya saya hanya akan menulis dengan satu bahasa saja, tergantung suasana hati saya memilih bahasa yang mana ;), namun ada kalanya pula saya akan menulis dalam dua bahasa, terutama untuk tulisan yang penting seperti ini.

Akhir kata, selamat datang di dunia saya.  Harap diingat, segala sesuatu yang ada di sini hanyalah hasil pikiran saya yang bisa jadi tidak disaring secara ketat.  Perhatian pembaca sangat disarankan.

Selamat membaca!

***

Hello!

It has been a long time since I last wrote a blog post.  Last time I had a blog, I rarely updated it, to the point that I only updated the blog once every six months.  When I did update it, it was littered with my relationship rants.  As a result of my neglect, my previous blogs were full of cobwebs and dust.

However, recently I found myself having many opinions that might not be fully and appropriately voiced through my currently existing social media accounts (you can take a peek after reading this ;)).  I want to share with you in more detail.  I want to take you to a journey through my thoughts and imaginations.  For that reason, I decided to write once more.

I deliberately choose to host this blog on the free WordPress plan, for a few reasons.  Firstly, I absolutely adore WordPress’s user interface.  Beautiful, clean, and simple.  Love it.   Secondly, well… I do not have any money to pay for a web hosting package.  Free web hosting plans tend to be immensely annoying.

I will write in two languages: Indonesian and English.   Normally, I will only blog in one language per post – the language I choose depends on my mood – however, there will be times where I write in two languages, especially for important posts like this one.

Finally, welcome to my domain.  Please remember that everything that I write here is solely based on my views, which may not be filtered properly.  Viewer discretion is advised.

Happy reading!